Kamis, 25 November 2010

PROFESIONAL AUDITOR DAN SITUASI AUDIT, ETIKA, PENGALAMAN SERTA KEAHLIAN AUDIT

1.1 Skeptisisme Profesional Auditor
Di dalam SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik, 2001:230.2), menyatakan skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Shaub dan Lawrence (1996) mengartikan skeptisisme profesional auditor sebagai berikut “professional scepticism is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s behavior…”. Skeptisisme profesional digabungkan ke dalam literatur profesional yang membutuhkan auditor untuk mengevaluasi kemungkinan kecurangan material (Loebbeck, et al, 1984). Selain itu juga dapat diartikan sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan prilaku orang lain (SPAP 2001 : 230.2)
Kee dan Knox’s (1970) dalam model “Professional Scepticism Auditor” menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Faktor-faktor kecondongan etika
Faktor-faktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. The American Heritage Directory menyatakan etika sebagai suatu aturan atau standar yang menentukan tingkah laku para anggota dari suatu profesi. Pengembangan kesadaran etis/moral memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan (Louwers, 1997), termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional akuntan.
2. Faktor-faktor situasi
Faktor-faktor situasi berperngaruh secara positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (situasi irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya.
3. Pengalaman
Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Butt (1988) memperlihatkan dalam penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Jadi seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih tinggi tingkat skeptisisme profesionalnya dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman.
Berkaitan dengan skeptisisme ini, penelitian yang dilakukan Kee & Knox’s (1970) yang menggambarkan skeptisisme profesional sebagai fungsi dari disposisi etis, pengalaman dan faktor situasional. Michael K. Shaub dan Janice E. Lawrence (1996) mengindikasikan bahwa auditor yang menguasai etika situasi yang kurang lebih terkait dengan etika profesional dan kurang lebih dapat melaksanakan skeptisisme profesionalnya. Faktor situasional merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan skeptisisme profesional auditor.
1.2 Pemberian Opini Auditor
Opini auditor merupakan pendapat yang diberikan oleh auditor tentang kewajaran penyajian lapoaran keuangan perusahaan tempat auditor melakukan audit. Ikatan Akuntan Indonesia (1994: SA seksi 504, paragraph 01) menyatakan bahwa: “Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal jika nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab auditor bersangkutan”.
Terdapat lima opini atau pendapat yang mungkin diberikan oleh akuntan publik atas laporan keuangan yang diauditnya. Pendapat-pendapat tersebut adalah: Unqualified Opinion (pendapat wajar tanpa pengecualian), Unqualified with Explanatory Paragraph or Modified Wording (pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku), Qualified Opinion (pendapat wajar dengan pengecualian), Adverse Opinion (pendapat tidak wajar), dan Disclaimer of Opinion (pernyataan tidak memberikan pendapat).
1.3 Hubungan Skeptisisme Profesional Auditor dan Situasi Audit, Etika, Pengalaman serta Keahlian Audit dengan Ketepatan Pemberian Opini Auditor oleh Akuntan Publik
Skeptisisme profesional yang dimaksud disini adalah sikap skeptis yang dimiliki seorang auditor yang selalu mempertanyakan dan meragukan bukti audit. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisisme profesional. Dapat diartikan bahwa skeptisisme profesional menjadi salah satu faktor dalam menentukan kemahiran profesional seorang auditor. Kemahiran profesional akan sangat mempengaruhi ketepatan pemberian opini oleh seorang auditor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat skeptisisime seorang auditor dalam melakukan audit, maka diduga akan berpengaruh pada ketepatan pemberian opini auditor tersebut.
Hubungan antara skeptisisme profesional auditor dengan ketepatan pemberian opini auditor ini, diperkuat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional tersebut. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa skeptisisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: faktor etika, faktor situasi audit, pengalaman dan keahlian audit. Sebagaimana penelitian Yurniwati (2004) menyatakan bahwa faktor etika, faktor situasi audit, pengalaman dan keahlian audit memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor-faktor tersebut yang memperkuat skeptisisme profesional auditor, yang juga akan berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor, memiliki hubungan secara tidak langsung dengan ketepatan pemberian opini oleh akuntan publik.
Dalam operasionalisasi variabel, diperlihatkan indikator yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian baik variabel dependen maupun variabel independen. Sementara skala yang digunakan untuk mengukur instrumen adalah tipe skala likert.
Variabel independennya adalah:
1. Skeptisisme Profesional Auditor (X)
Untuk mengukurnya digunakan skenario yang dipakai Shaub dan Lawrence, namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia. Indikatornya adalah tingkat keraguan auditor terhadap bukti audit, banyaknya pemeriksaan tambahan dan konfirmasi langsung. Skala pengukurannya adalah ordinal.
2. Faktor Situasi Audit (X1)
Variabel ini digambarkan dalam suatu skenario atau kasus, dimana pengukuran untuk masing-masing situasi dilakukan bersamaan dengan pengukuran skeptisisme profesional auditor dan skala yang digunakan adalah skala ordinal.
3. Fakor Etika (X2)
Untuk mengukur variabel ini digunakan instrumen yang digunakan oleh Cohen et al, (1995) yang dikembangkan oleh Loeb (1971), yaitu dengan menggunakan skala likert 5 poin. Setiap skema memerlukan respon responden untuk menunjukkan apakah tindakan yang dinyatakan dalam skema adalah etis atau tidak dan skala yang digunakan adalah skala ordinal.
4. Pengalaman (X3)
Variabel ini diukur dengan lamanya waktu atau pengalaman mengaudit serta banyaknya penugasan yang telah ditangani auditor bersangkutan. Skala yang digunakan adalah skala ordinal.
5. Keahlian Audit (X4)
Variabel ini diukur dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki serta tingkat sertifikasi pendidikan atau pengakuan resmi dan skalanya likert.
Variabel dependen adalah ketepatan pemberian opini audit oleh akuntan publik. Variabel ini diukur melalui pemberian opini yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam macam-macam opini. Skala pengukurannya adalah ordinal.

http://joernalakuntansi.wordpress.com/2009/08/30/profesional-auditor-dan-situasi-audit-etika-pengalaman-serta-keahlian-audit/

PERILAKU ETIKA DALAM AKUNTANSI : APA YANG DIMAKSUD DENGAN ETIK?

Oleh dhanialfitra

PERILAKU ETIKA DALAM AKUNTANSI : APA YANG DIMAKSUD DENGAN ETIK?

Seperempat abad yang lalu terlihat peningkatan kewaspadaan akan pentingnya etik dan moral dalm segala hal dan alikasi dari prinsip etika dalam bisnis dan tentunya akuntansi yang berada di dalamnya. Namun, apa yang dimaksud? Bagaimana mengaplikasikannya serta mengakui bisnis secara umum dan akuntansi secara khusus.

Dalam bab ini, kita akan membahas kesadaran akan etik dan moral serta bermacam-macam dimensi. Dari sini, kita dapat memahami kapan harus mengerjakan tugas akuntansi dan profesi akuntansi.

Moral dan etik adlaah dua hal yang berbeda, “Webster’s Collegiate Dictionary” memberikan empat dasar pengertian dari kata etik, yaitu:

  1. Berhubungan dengan mana yang baik dan buruk dengan kewajiban moral dan obligasi
  2. Serangkaian prinsip moral dan nilai
  3. Teori atau sistem dari hal moral
  4. Prinsip dari perilaku individu atau golongan

Etik terfokus pada benar atau salah, baik atau buruk serta serangkaian pendapat prinsip seseorang atau golongan atau disebut tentang ilmu prinsip etika. Maksud dari disiplin adalah analisis, evaluasi perilaku seseorang “assisted suicide”. “assisted suicide” adalah analisis dan alasan apa yang dapat mendukung dari atas apa yang telah dilakukan (evaluasi).

  • ETIK : INISIATIF INTELEKTUAL

Setiap orang memiliki serangkaian etika dari kepercayaan atau prinsip etika. Dan setiap kepercayaan etika terdiri dari dua elemen yaitu, subjek dan predikat. Subjek mewakili tentang apa yang dipercaya “salah” adalah predikat etika. Predikat etika adalah apa yang dikatakan atau dilakukan oleh subjek.

Ekspresi dari kepercayaan yang kita anut, “cooking the books is wrong”, “cookingthe books” adalah perilaku, atau kadang sistem atau institusi.

  • PERILAKU
  • Perilaku manusia adlah subjek utama dari ekspresi dari kepercayaan etika dari perilaku manusia tersebut. Dari sini kita dapat mengambil sikap atau aktivitas yang dengan sengaja dilakukan. Bagaimnapaun, tidak semua perilaku yang sengaja dilakukan oleh manusia memiliki nilai etika. Perilaku yang dengan sengaja dilakukan kita desain seperti “etika” atau “tidak beretika”, selayaknya perilaku yang menguntungkan atau merugikan orang lain atau diri sendiri secara positif atau diri sendiri secara positif atau negatif dalam keputusan atau jalan hidup yang berdampak serius.
  • Perilaku sosial, institusi dan sistem

Perilaku manusia bukan hanya satu-satunya subjek dalam etik. Disamping perilaku, mengevaluasi etik perilaku sosial, organisasi, institusi dan sistem dari segi sosial, politik serta ekonomi. Etik juga mengevaluasi organisasi, institusi dan sistem. Intinya, etik dapat mengevaluasi perilaku dan sikap atau sistem baik dari individu maupun golongan.

MENGAPA MEMELAJARI ETIK?

Mengapa kita harus memelajari etika?

Pertama, beberapa kepercayaan moral mungkin tidak sesuai karena mereka memiliki kepercayaan yang sederhana tenatang isu yang kompleks.

Kedua, dalam beberapa situasi, karena adanya konflik prinsip etika, mungkin akan sulit untuk menentukan paa yang akan dilakukan. Maka etik dapat memberikan pemahaman lebih dalam tentang hal tersebut.

Ketiga, seseorang mungkin memiliki atau memegang kepercayaan yang tidak sesuai atau nilai etik yang melekat namun tidak sesuai.

http://dhanialfitra.wordpress.com/2009/07/02/perilaku-etika-dalam-akuntansi-apa-yang-dimaksud-dengan-etik/

ETIKA BISNIS PANCASILA

I. People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meeting by any law which either could be executed or would be consistent with liberty and justice. But though th law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together it ought to do nothing to facilitate such assemblies, much less to render them necessary. (Dikutip dalam Mubyarto, PERPIIS, h. 57)

II. Jika ada pendapat bahwa (ilmu) ekonomi tidak mengajarkan keserakahan sedangkan (ilmu atau praktek) bisnis memang serakah, maka memang yang relevan adalah etika bisnis bukan etika ekonomi atau ekonomi moral. Namun jelas Adam Smith mengajarkan adanya homo ekonomikus atau homo socius atau homo religiousus. Artinya manusia memang mengandung pada dirinya dua sifat yang nampak bertentangan, yaitu sifat-sifat selfish-egois dan sifat-sifat social-symphathetic. Inilah sifat-sifat manusia yang masing-masing digambarkan dalam buku Adam Smith Wealth of Nations (1776) dan The Theory of Moral Sentiments.

III. Pengertian social economics atau economic sociology (Max Weber) adalah cara lain untuk menggambarkan sifat-sifat sosial manusia. Artinya manusia pada dasarnya suka hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan yang dalam bahasa Jerman dikenal dalam konsep Gemeinschaft (paguyuban) yang dilawankan dengan konsep Gesellschaft (patembayan). Dalam dunia bisnis Jawa ada istilah “Tuna Satak Bati Sanak” yang artinya orang dapat mentoleransi kerugian uang dengan kompensasi bertambahnya persaudaraan (brotherhood).

IV. Dalam dunia perbankan di Indonesia sejak krisis moneter (krismon) tahun 1997, yang belum kunjung teratasi sampai sekarang, terlihat telah berkembang sistem dan praktek perbankan kapitalistik yang tidak etik karena menekankan pada pengejaran untung sebesar-besarnya. Dalam perbankan etik harus dihilangkan atau dikurangi nafsu mengejar untung tanpa batas, tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain. Perbankan etik di Indonesia harus menuju pada upaya-upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Perbankan Syariah adalah perbankan yang demikian yang dewasa ini mulai digalakkan.

V. The outstanding faults of the economic society in which we live are its failure to provide for full employment and its arbitrary and equitable distribution of welath and income… I believe that there is social and psychological justification for significant inequalities of income and wealth but not for such large disparities as exist today (JM Keynes, 1936).

Meskipun pernah diantara kita menolak tuduhan Indonesia telah melaksanakan sistem ekonomi Kapitalisme yang cacatnya disebutkan Keynes di atas, tetapi sekarang lebih banyak orang terang-terangan menerima sistem ekonomi tersebut karena dianggap “tak terelakkan” dan karena sejak 1991 jelas kapitalisme telah terbukti memenangkan persaingan dengan sosialisme.

VI. I shall argue that these perceptions are justified, that current capitalism is indeed morally deficient. This book is absolut whether, without abandoning capitalism, these serious deficiencies can be overcome (DW Hasslet, Capitalism with Morality, 1994).

Kapitalisme yang “bermoral” adalah yang kaum buruh (dan petani untuk Indonesia) ikut serta aktif dalam “manajemen produksi”, yang serius mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan, dan jelas-jelas berusaha meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan.

It is not capitalism per se that is immoral, but current capitalism. Capitalism with morality is possible… a capitalism without extreme inequalities of wealth and opportunity, a capitalism without alienated workers, a capital with morality. (Hasslet, h. 264).

VII. Jika Indonesia pernah menyambut baik sistem sosialisme religius yaitu sistem sosialisme yang aturan-aturan mainnya banyak mengacu pada ajaran-ajaran agama, maka di pihak lain ada yang menganggap lebih tepat menerapkan sistem Kapitalisme Pancasila. Pada hemat kami Pancasila berhak menjadi ideologi, pegangan yang secara penuh menggariskan aturan main, kebijakan dan program-program pembangunan nasional baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.

VIII. Etika Bisnis Indonesia yang dapat kita sebut Etika Bisnis Pancasila mengacu pada setiap sila atau perasan-perasannya. Menurut Bung Karno, pada pidato kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila dapat diperas menjadi Sila Tunggal, yaitu Gotong Royong, atau Tri Sila sbb:
1. Socio-nasionalisme (Kebangsaan dan Peri Kemanusiaan)
2.
Socio-demokrasi (Demokrasi/ Kerakyatan, dan Kesejahteraan Sosial); dan
3.
Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa

Syarat mutlak dapat diwujudkannya Etika Bisnis Pancasila adalah mengakui terlebih dahulu Pancasila sebagai ideologi bangsa, sehingga asas-asasnya dapat menjadi pedoman perilaku setiap individu dalam kehidupan ekonomi dan bisnis sehari-hari. Baru sesudah asas-asas Pancasila benar-benar dijadikan pedoman etika bisnis, maka praktek-praktek bisnis dapat dinilai sejalan atau tidak dengan pedoman moral sistem Ekonomi Pancasila.

http://www.ekonomirakyat.org/edisi_2/artikel_1.htm

Idulfitri dan penguatan etika bisnis

Oleh: Prof. Masykuri Abdillah

Idulfitri merupakan puncak dari rangkaian ibadah puasa Ramadan yang dilaksanakan selama sebulan penuh. Dengan demikian, pembahasan tentang makna (nilai-nilai) yang terkandung dalam Idulfitri tidak bisa lepas dari pembahasan tentang makna yang terkandung dalam ibadah puasa.

Allah menyebutkan tujuan puasa ini untuk membentuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (Q.S. al-Baqarah: 183).

Meskipun demikian, ternyata puasa juga mengandung hikmah tidak hanya yang berdimensi spiritual dan vertikal tetapi juga sosial dan horizontal, terutama penguatan akhlak (etika-moral) dan watak (karakter) orang yang berpuasa. Puasa bahkan menjadi sarana latihan yang efektif untuk penguatan akhlak dan karakter ini, terutama untuk mewujudkan manusia yang bebas dari dosa dan perbuatan tercela, manusia yang dapat mengendalikan diri dan jujur, dan sekaligus manusia yang memiliki solidaritas sosial yang tinggi.

Makna mendalam

Puasa dilakukan melalui pengendalian diri (imsak) pada siang hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dari aktivitas makan, minum dan hubungan seksual. Namun, kesempurnaan puasa tidak terbatas pada pengekangan tiga hal ini saja, tetapi meliputi pengekangan ego dari semua keinginan, sikap dan tindakan tercela (kemaksiatan). Dalam pelaksanaan puasa ini terkandung pula nilai kejujuran yang tinggi, karena bisa saja seseorang berpura-pura puasa di hadapan umum tetapi sebenarnya ia tidak berpuasa.

Di samping itu, dalam puasa juga terkandung nilai tolong-menolong (solidaritas sosial). Selama Ramadan seseorang dianjurkan untuk banyak bersedekah, dan diwajibkan membayar zakat fitrah yang terutama diberikan kepada fakir miskin. Bahkan, puasa ini memunculkan empati seseorang dengan membayangkan perasaan fakir miskin yang kelaparan atau kekurangan makanan sebagaimana dirinya mengalami kelaparan saat berpuasa.

Idulfitri merupakan puncak dari rangkaian ibadah puasa Ramadan yang dilaksanakan selama sebulan penuh. Dengan demikian, pembahasan tentang makna (nilai-nilai) yang terkandung dalam Idulfitri tidak bisa lepas dari pembahasan tentang makna yang terkandung dalam ibadah puasa.

Allah menyebutkan tujuan puasa ini untuk membentuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (Q.S. al-Baqarah: 183).

Meskipun demikian, ternyata puasa juga mengandung hikmah tidak hanya yang berdimensi spiritual dan vertikal tetapi juga sosial dan horizontal, terutama penguatan akhlak (etika-moral) dan watak (karakter) orang yang berpuasa. Puasa bahkan menjadi sarana latihan yang efektif untuk penguatan akhlak dan karakter ini, terutama untuk mewujudkan manusia yang bebas dari dosa dan perbuatan tercela, manusia yang dapat mengendalikan diri dan jujur, dan sekaligus manusia yang memiliki solidaritas sosial yang tinggi.

Makna mendalam

Puasa dilakukan melalui pengendalian diri (imsak) pada siang hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dari aktivitas makan, minum dan hubungan seksual. Namun, kesempurnaan puasa tidak terbatas pada pengekangan tiga hal ini saja, tetapi meliputi pengekangan ego dari semua keinginan, sikap dan tindakan tercela (kemaksiatan). Dalam pelaksanaan puasa ini terkandung pula nilai kejujuran yang tinggi, karena bisa saja seseorang berpura-pura puasa di hadapan umum tetapi sebenarnya ia tidak berpuasa.

Di samping itu, dalam puasa juga terkandung nilai tolong-menolong (solidaritas sosial). Selama Ramadan seseorang dianjurkan untuk banyak bersedekah, dan diwajibkan membayar zakat fitrah yang terutama diberikan kepada fakir miskin. Bahkan, puasa ini memunculkan empati seseorang dengan membayangkan perasaan fakir miskin yang kelaparan atau kekurangan makanan sebagaimana dirinya mengalami kelaparan saat berpuasa.

Orang yang melaksanakan puasa dengan pemenuhan ketiga nilai atau prinsip tersebut, yakni pengendalian diri, kejujuran dan solidaritas sosial, akan menjadi bersih tanpa dosa, sebagaimana sabda Rasulullah: "Barang siapa berpuasa kerena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah berlalu" (H.R. Ahmad), atau dengan ungkapan lain 'itq min al-nâr (bebas dari api neraka).

Oleh karena itu, penutup ibadah puasa ini, yakni pada 1 Syawal, disebut sebagai hari "Idulfitri", yang artinya hari kembalinya manusia kepada sifat alamiahnya yang bersih tanpa dosa. Ketiga nilai tersebut merupakan kunci utama pembentukan akhlak dan karakter yang baik.

Naluri manusia memang memiliki keinginan-keinginan (nafsu), baik nafsu biologis, materi maupun kekuasaan (Q.S. Ali ’Imran: 14). Islam pun tidak melarang keinginan-keinginan ini, tetapi membatasinya minimal dengan ketiga nilai tersebut. Munculnya sejumlah persoalan sosial, seperti korupsi, perampokan, pencurian, penipuan, perzinaan, egoisme, keserakahan, kekerasan, penyalahgunaan wewenang, narkoba, miras dan sebagainya merupakan ekspresi keinginan yang tidak disertai dengan kepemilikan ketiga nilai tersebut. Oleh karenanya, ketiga nilai ini harus diwujudkan tidak hanya selama Ramadan, tetapi juga pada hari-hari di luar Ramadan.

Etika bisnis

Salah satu tujuan syariat Islam adalah untuk melindungi harta (hifzh al-mal). Dalam urusan harta ini Islam memberi dorongan kuat kepada umatnya untuk bekerja memperoleh harta, dan menyebutnya sebagai "usaha pencarian karunia Allah“; dan sebaliknya, Islam mencela orang-orang yang malas bekerja dan pengangguran. Islam pun memberi perlindungan terhadap harta, baik milik sendiri maupun milik orang lain.

Dalam melakukan kegiatan ekonomi (bisnis) tersebut manusia sering tergoda untuk bersikap egois, hanya untuk menguntungkan diri sendiri walaupun harus merugikan orang lain. Oleh karena itu, agar kegiatan pencarian harta (kegiatan ekonomi) ini berjalan dengan aman, fair dan manusiawi, Islam mengajarkan adanya akhlak (etika moral) dan prinsip-prinsip hukum berkaitan dengan kegiatan ekonomi.

Keberadaan etika-moral atau sering disebut “etika bisnis” ini tidak hanya menguntungkan bagi masyarakat umum dan ekonomi nasional, tetapi bahkan bagi perusahaan itu sendiri. Ketiga nilai tersebut di atas merupakan prinsip-prinsip penting sebagai dasar pembentukan etika bisnis ini.

Pertama, pengendalian diri merupakan nilai yang dibutuhkan untuk mengarahkan nafsu serakah dan mengambil untung sebanyak-banyaknya. Islam melarang aktivitas ekonomi yang didasarkan semata-mata untuk keuntungan individu, tanpa menghiraukan kepentingan umum.

Kedua, aktivitas ekonomi juga harus didasarkan pada prinsip kejujuran (amanah) dan tidak saling merugikan antara satu dengan lainnya, sebagaimana sabda Rasulullah: Pelaku bisnis yang jujur dan terpercaya akan termasuk ke dalam golongan para nabi, para orang saleh dan para syuhada'. (H.R. al-Tirmidzi).

Sebaliknya, Islam melarang hubungan ekonomi yang mengandung unsur manipulasi atau penipuan (gharar), baik dalam bentuk informasi bohong tentang kondisi komoditas, sumpah palsu, maupun timbangan yang tidak akurat. Termasuk dalam hal ini adalah adanya kolusi antara pihak pengusaha dan pihak penguasa. Ketidakjujuran ini akan merugikan tidak hanya kepada mitra bisnisnya secara individual, tetapi juga merusak kondisi ekonomi secara nasional serta menghilangkan kepercayaan internasional.

Ketiga, hubungan antarsesama manusia, termasuk dalam bidang ekonomi, harus didasarkan pada sikap kerja sama dan tolong menolong (ta’awun) antara satu dengan lainnya (Q.S. al-Maidah: 2). Kerja sama ini dilakukan karena seseorang tidak bisa berbuat sendiri, tetapi membutuhkan mitra untuk keberhasilan usahanya. Di sisi lain, Islam mencela orang yang egois yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak memiliki solidaritas sosial. Orang yang demikian ini tidak mau mendermakan sebagian dari kekayaannya kepada orang yang membutuhkan bantuan, seperti anak yatim dan fakir miskin (Q.S. al-Ma’un: 1-3). Oleh karenanya, kini dikembangkan konsep corporate social responsibility (CSR), yakni perlunya tanggung jawab perusahaan untuk membantu kegiatan-kegiatan sosial, termasuk pengentasan kemiskinan.

Dalam kenyataannya, etika bisnis di Indonesia masih belum cukup kuat. Terjadinya krisis ekonomi di akhir kekuasaan Orde Baru lalu antara lain juga disebabkan oleh lemahnya etika bisnis ini, yang dalam kenyataannya telah memperlemah fundamental ekonomi.

Meskipun pada era reformasi ini sudah lebih baik daripada era sebelumnya, aktivitas bisnis yang tidak disertai etika kini masih banyak terjadi. Keserakahan masih banyak terjadi, misalnya dalam bentuk ekspansi usaha bermodal besar yang mematikan usaha kecil, eksploitasi alam yang merusak lingkungan hidup.

Demikian pula, ketidakjujuran juga masih terjadi, misalnya dalam bentuk kolusi pengusaha dengan penguasa serta adanya praktik manipulasi produk, informasi dan penghitungan pajak. Di samping itu, kini masih banyak pula pengusaha yang berorientasi hanya memperoleh keuntungan untuk diri mereka, tanpa disertai rasa tanggung jawab untuk membantu kegiatan-kegiatan sosial.

Memang dalam tahun-tahun terakhir ini kesadaran pengusaha tentang CSR semakin meningkat, dengan semakin banyaknya perusahaan yang menyisihkan dana untuk kegiatan-kegiatan sosial. Namun, kesadaran ini masih belum optimal, terutama di lingkungan perusahaan-perusahaan swasta.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan puasa secara fungsional serta penghayatan terhadap maknanya dan makna Idulfitri menjadikan seseorang tidak hanya bebas dari dosa dan kembali kepada kondisi yang fitri (terlahir kembali), tetapi juga memiliki akhlak (etika-moral) dan karakter yang baik.

Oleh karena itu, nilai-nilai puasa Ramadan dan Idulfitri ini seharusnya juga dipraktikkan pasca-Ramadan dan Idulfitri demi penguatan akhlak bangsa, termasuk etika bisnis. Dengan etika ini seseorang yang melakukan aktivitas bisnis akan mampu mengendalikan diri dari keserakahan dan manipulasi, bertindak secara jujur dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.

Oleh Prof. Masykuri Abdillah
Guru Besar UIN Jakarta

http://www.bisnis.com/artikel/2id3105.html

GCG di TELKOM

TELKOM is a public- listed company owned by the state (state-owned enterprise) whose shares are listed on the Jakarta Stock Exchange (JSX) and the Surabaya Stock Exchange (BES) and some overseas stock markets, namely the New York Stock Exchange (NYSE), London Stock Exchange (LSE) and issued in a public offering without listing (POWL) in Japan. TIME business in this company have part of the way from execution to take care telecommunication such as telephone (fixed wireline, fixed wireless and celluler), data and internet, connection service and interkoneksi, with content/application. That striving obtain with focuss by parent although young company. In possition December 31 2009, common shares TELKOM have by govermment Indonesia Republic (52,47%) and rest have by stock holder Republic (47,53 %). To illustrate the implementation of the GCG in TELKOM, the examples of GCG implementations are grouped in accordance with the five key principles, namely transparency, independence, accountability, responsibility and fairness. TELKOM has determined three main strategic objectives: (i) achieving sustainable growth and profit margin, (ii) realizing value creation for stakeholders, and (iii) attaining quality excellence in product and services.

CSR TELKOM
As an integral part of the community in which it operates, Telkom is highly committed to
the principles of Community and Social Responsibility (CSR) and to the implementation of programs that support these principles. This commitment is reinforced by a number of factors, including the following: increased pressure by the global community for the implementation of the principles of community and social responsibility; a growing perception on the part of management that CSR is an integral part of Good Corporate Governance; an increased demand on the part of global investors for the implementation of CSR; and preparation for the implementation of ISO 26,000 standards by 2008. In order to socialize a shared vision throughout the ranks of the Company, management has formulated a vision statement which states that the goal of the Company is to become a leader in the implementation of the principles of Corporate and Social Responsibility in Asia through the achievement of a mission which is defined as follows:
• To play an active role in improving the capabilities
of the community through education in the area of information and communication technology;
• To play an active role in improving the quality of life of all members of the community in which it operates;
• To play an active role in achieving sustainable environment management.
TELKOM CSR is an integrated part of company business strategy.
Mission
• Educating the society through InfoCom tecnology
• Improving community life quality
• Preserving environmental sustainability
Vision
As a pioneer of Corporate Social Responsibility implementation.in Asia
Loans Assistance Program Through its Partnership Program, Telkom channels funding and loans in two primary forms: soft loans with low interest rates, and grants, for the specific purpose of training activities and involvement in trade shows to assist in the marketing of products produced by small businesses. In 2006, the realized level of funding provided by Telkom was as follows:
• Loans amounting to Rp 93.0 7 billion, or 68.44 per cent of the target of Rp 136.00 billion set for 2006;
• Grants amounting to Rp 3.6 8 billion or 15.35 per cent of the target of Rp 24 billion se
CORPORATE GOVERNANCE
As a go-public company, the demand for implementing the GCG is increasing. TELKOM is required to always comply with various terms and conditions issued by stock xchanges on which the Company’s shares are registered and listed.
All TELKOM employee must have and maintain work ethics which is the implementation
of ”Commited 2 U” principles;
• honesty,
• transparant,
• commitment,
• cooperation,
• dicipline,
• care, and
• responsibility

The core of the GCG policy is to enable the parties that run the companies to understand and implement their functions in accordance with their functions and responsibilities. The parties involved consist of the shareholders, board of commissioners, board of directors, heads of units and the employees. Komposisi karyawan TELKOM sampai dengan
akhir tahun 2006 dapat dilihat dari sisi pendidikan berdasarkan entri level (di luar pegawai yang mengikuti pendidikan mandiri). Dari 27.658 karyawan TELKOM masih terdapat sebanyak 1.355 karyawan yang berlatar-belakang pendidikan SD atau sekitar 4,9 persen, pendidikan SLTP sebesar 8,7 persen, dan pendidikan setingkat SLTA masih ter tinggi, yakni 35,9 persen. Sedangkan lulusan program diploma D1 s.d. D3 sebanyak 31,4 persen, S1 sekitar 16,3 persen, dan S2/S3 sejumlah 2,8 persen.

Comment:

The Company social responsibilities can be broadly divided into seven main areas, these being: 1) partnership; 2) education; 3) health; 4) humanitarian assistance and assistance to those in areas affected by natural disaster; 5) cultural activities; 6) the provision of necessary services; and 7) environment.
1. Education: Activities and programs related to education are intended to improve the educational standards and to improve levels of expertise, general knowledge, and awareness amongst all stakeholders, including members of staff, their families, and members of the community.
1. Health: Activities and programs related to health are intended to improve the health and physical wellbeing of all stakeholders, including members of staff, their families, and members of the community.
3. Cultural activities: Cultural activities are intended to preserve and to foster involvement in and an appreciation of culture, arts, sport, religion, and other community activities that support the Company’s goal of implementing the values of good corporate citizenship.
4. Partnership: Activities and programs in this category are intended to strengthen relationships with individuals and parties with whom Telkom interacts, whether or not these individuals and parties are directly involved in Telkom’s core business. These activities are intended to benefit all parties.
5. Provision of Necessary Services: Activities and programs in this category are intended to improve the level of infrastructure and telecommunications services provided to members of the community.
6. Environment: Activities and programs in this category are intended to achieve improvements, both within the Company and in its external dealings, to support environmental management.
7. Humanitarian Assistance and Assistance to Those Afflicted by Natural Disasters: These activities and programs are intended to provide assistance to members of communities afflicted by natural and humanitarian disasters of various kinds. In broad outline, the strategic elements of

http://johannessimatupang.wordpress.com/2010/10/05/manajemen-stratejik-str-program-s1/