Kamis, 25 November 2010

PROFESIONAL AUDITOR DAN SITUASI AUDIT, ETIKA, PENGALAMAN SERTA KEAHLIAN AUDIT

1.1 Skeptisisme Profesional Auditor
Di dalam SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik, 2001:230.2), menyatakan skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Shaub dan Lawrence (1996) mengartikan skeptisisme profesional auditor sebagai berikut “professional scepticism is a choice to fulfill the professional auditor’s duty to prevent or reduce or harmful consequences of another person’s behavior…”. Skeptisisme profesional digabungkan ke dalam literatur profesional yang membutuhkan auditor untuk mengevaluasi kemungkinan kecurangan material (Loebbeck, et al, 1984). Selain itu juga dapat diartikan sebagai pilihan untuk memenuhi tugas audit profesionalnya untuk mencegah dan mengurangi konsekuensi bahaya dan prilaku orang lain (SPAP 2001 : 230.2)
Kee dan Knox’s (1970) dalam model “Professional Scepticism Auditor” menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Faktor-faktor kecondongan etika
Faktor-faktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. The American Heritage Directory menyatakan etika sebagai suatu aturan atau standar yang menentukan tingkah laku para anggota dari suatu profesi. Pengembangan kesadaran etis/moral memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan (Louwers, 1997), termasuk dalam melatih sikap skeptisisme profesional akuntan.
2. Faktor-faktor situasi
Faktor-faktor situasi berperngaruh secara positif terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko tinggi (situasi irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan sikap skeptisisme profesionalnya.
3. Pengalaman
Pengalaman yang dimaksudkan disini adalah pengalaman auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Butt (1988) memperlihatkan dalam penelitiannya bahwa auditor yang berpengalaman akan membuat judgement yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesionalnya, daripada auditor yang kurang berpengalaman. Jadi seorang auditor yang lebih berpengalaman akan lebih tinggi tingkat skeptisisme profesionalnya dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman.
Berkaitan dengan skeptisisme ini, penelitian yang dilakukan Kee & Knox’s (1970) yang menggambarkan skeptisisme profesional sebagai fungsi dari disposisi etis, pengalaman dan faktor situasional. Michael K. Shaub dan Janice E. Lawrence (1996) mengindikasikan bahwa auditor yang menguasai etika situasi yang kurang lebih terkait dengan etika profesional dan kurang lebih dapat melaksanakan skeptisisme profesionalnya. Faktor situasional merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan skeptisisme profesional auditor.
1.2 Pemberian Opini Auditor
Opini auditor merupakan pendapat yang diberikan oleh auditor tentang kewajaran penyajian lapoaran keuangan perusahaan tempat auditor melakukan audit. Ikatan Akuntan Indonesia (1994: SA seksi 504, paragraph 01) menyatakan bahwa: “Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal jika nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab auditor bersangkutan”.
Terdapat lima opini atau pendapat yang mungkin diberikan oleh akuntan publik atas laporan keuangan yang diauditnya. Pendapat-pendapat tersebut adalah: Unqualified Opinion (pendapat wajar tanpa pengecualian), Unqualified with Explanatory Paragraph or Modified Wording (pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa yang ditambahkan dalam laporan audit bentuk baku), Qualified Opinion (pendapat wajar dengan pengecualian), Adverse Opinion (pendapat tidak wajar), dan Disclaimer of Opinion (pernyataan tidak memberikan pendapat).
1.3 Hubungan Skeptisisme Profesional Auditor dan Situasi Audit, Etika, Pengalaman serta Keahlian Audit dengan Ketepatan Pemberian Opini Auditor oleh Akuntan Publik
Skeptisisme profesional yang dimaksud disini adalah sikap skeptis yang dimiliki seorang auditor yang selalu mempertanyakan dan meragukan bukti audit. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisisme profesional. Dapat diartikan bahwa skeptisisme profesional menjadi salah satu faktor dalam menentukan kemahiran profesional seorang auditor. Kemahiran profesional akan sangat mempengaruhi ketepatan pemberian opini oleh seorang auditor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat skeptisisime seorang auditor dalam melakukan audit, maka diduga akan berpengaruh pada ketepatan pemberian opini auditor tersebut.
Hubungan antara skeptisisme profesional auditor dengan ketepatan pemberian opini auditor ini, diperkuat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional tersebut. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa skeptisisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: faktor etika, faktor situasi audit, pengalaman dan keahlian audit. Sebagaimana penelitian Yurniwati (2004) menyatakan bahwa faktor etika, faktor situasi audit, pengalaman dan keahlian audit memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap skeptisisme profesional auditor. Faktor-faktor tersebut yang memperkuat skeptisisme profesional auditor, yang juga akan berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik. Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor, memiliki hubungan secara tidak langsung dengan ketepatan pemberian opini oleh akuntan publik.
Dalam operasionalisasi variabel, diperlihatkan indikator yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian baik variabel dependen maupun variabel independen. Sementara skala yang digunakan untuk mengukur instrumen adalah tipe skala likert.
Variabel independennya adalah:
1. Skeptisisme Profesional Auditor (X)
Untuk mengukurnya digunakan skenario yang dipakai Shaub dan Lawrence, namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia. Indikatornya adalah tingkat keraguan auditor terhadap bukti audit, banyaknya pemeriksaan tambahan dan konfirmasi langsung. Skala pengukurannya adalah ordinal.
2. Faktor Situasi Audit (X1)
Variabel ini digambarkan dalam suatu skenario atau kasus, dimana pengukuran untuk masing-masing situasi dilakukan bersamaan dengan pengukuran skeptisisme profesional auditor dan skala yang digunakan adalah skala ordinal.
3. Fakor Etika (X2)
Untuk mengukur variabel ini digunakan instrumen yang digunakan oleh Cohen et al, (1995) yang dikembangkan oleh Loeb (1971), yaitu dengan menggunakan skala likert 5 poin. Setiap skema memerlukan respon responden untuk menunjukkan apakah tindakan yang dinyatakan dalam skema adalah etis atau tidak dan skala yang digunakan adalah skala ordinal.
4. Pengalaman (X3)
Variabel ini diukur dengan lamanya waktu atau pengalaman mengaudit serta banyaknya penugasan yang telah ditangani auditor bersangkutan. Skala yang digunakan adalah skala ordinal.
5. Keahlian Audit (X4)
Variabel ini diukur dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki serta tingkat sertifikasi pendidikan atau pengakuan resmi dan skalanya likert.
Variabel dependen adalah ketepatan pemberian opini audit oleh akuntan publik. Variabel ini diukur melalui pemberian opini yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan dalam macam-macam opini. Skala pengukurannya adalah ordinal.

http://joernalakuntansi.wordpress.com/2009/08/30/profesional-auditor-dan-situasi-audit-etika-pengalaman-serta-keahlian-audit/

1 komentar:

  1. mau nanya dong... kenapa skala pengukurannya ordinal..? kenapa gak interval?

    BalasHapus